Cari Blog Ini

Rabu, 17 Februari 2010

MAHASISWA DAN TANGGUNGJAWAB
PERADABAN NUSANTARA
(Agar tidak menjadi Bangsa budak [lagi!] di negeri sendiri)
Oleh: Edwin Ristianto



We are often told “Colonialism is dead”. Let us not be deceived or even soothed by that....
I beg of you do not think of colonialism only in the classic form which we of Indonesia, and our brothers in different parts of Asia and Africa, knew.
Colonialism has also its modern dress, in the form of economic control, intellectual control, actual physical control by a small but alien community within a nation.
It is a skilful and determined enemy, and it appears in many guises.

--- Soekarno, “Speech at the Opening of Asian African Conference”, Bandung, 1955).

Narasi Pijak
Indonesia adalah sebuah narasi. Narasinya selamanya tidak bisa mandiri. Dia selalu saja dikonstruksi oleh orang lain. Narasi ekonomi, politik, budaya dan social Indonesia bukanlah narasi yang asli, original dan indigenous untuk rakyatnya. Maka sangatlah ironik kalau kebisuan yang sangat terus dibiarkan., seandainya Marx benar tentang teori ‘alienasi’ nya dan rakyat terus-menerus terasingkan dengan menelan narasi dan kesadaran palsu (fals councioussnes).

Rupanya benar, Indonesia tidaklah bisa dipelajari dan dipahami hanya dari dalam akan tetapi dari luarlah sesungguhnya Indonesia lebih tampak jelas (Gus Iim. 1999). Relasi yang ‘meng-Indonesia’ sebagian besar adalah constructed dalam pemaknaan yang aliened (terasingkan) dan aliening (mengasingkan) (George J. Aditjondro, 2000).

Barangkali menerawang Indonesia dalam persepektif post-colonial akan menjadi menarik. Samir Amin (1996) menulis bahwa Timur dalam penggal sejarah tertentu telah menjadi objek dari barat, dan akhirnya tanpa harus dipaksa, timur sendiri yang ingin ’membarat’. Wacana dan kesadaran post-colonial yang mendekam dalam ruang batin masyarakat dunia ke-3 selalu menjadikannya tidak utuh, selalu kurang dan membutuhkan barat sebagai patron.

Teori depedensi dalam taraf tertentu menjelaskan posisi ketergantungan ini. Dalam teori ini, ada posisi dimana segelintir masyarakat pribumi menjadi “katalisator” pelicin bagi hegemoni asing masuk didalamnya. Dalam bahasa neo-marxisme, seperti Gramsci, ini sering disebut Comprador. Dalam teori Triple Evans (1981) komprador bangsa sering ditujukan pada Negara (state), Militer, dan borjuasi local.

Akan tetapi, pertanyaanya adalah, apakah sedemikian linear garis narasi kita? selalu saja tergantung? apakah narasi kebangsaan kita hanya narasi kepatuhan dan ketundukan? apakah kuasa pribumi atas tradisinya sama sekali sudah hilang?. Foucault (1956) telah mengajarkan kita, bahwa kuasa itu tidaklah tunggal, tidak konsentris, akan tetapi dia mengalir dalam kapiler-kapiler kehidupan baik oleh si patron maupun oleh si klien. Artinya kita masih punya potensi besar untuk membuat relasi kuasa makna menjadi bergeser memihak kepada kita. Jawaban Lenin untuk perebutan kuasa makna ini ialah ‘Gerakan Revolusioner’.

Dan kita harus sadar, bahwa dalam wacana post-kolonial tersedia referensi gerakan yang sering disebut sub-altera, sebuah posisi alternative bagi para pribumi sadar yang menginginkan narasi mereka menjadi utuh, original, dan indigenous (Laela Gandhi, Cakhrabowty, 1999). Meminjam istilah Weber kita membutuhkan sebuah gerakan dari kelompok creative minority pribumi yang selalu bisa membuat perang posisi (war of position) atas dominasi barat. Meminjam Lenin sekaligus Gramsci kita sekarang butuh membentuk vanguard gerakan revolusioner untuk melakukan counter hegemony dan perlawanan atas dominasi dan intervensi asing.

Untuk bisa memahami wacana post colonial, novelis besar Pramoedya Ananta Toer dengan lugas menjelaskan dalam novelnya yang terkenal Arus Balik:

Sekarang makin lama makin sedikit kapal-kapal Jawa berlayar ke utara, ke Atas Angin, ke Campa ataupun ke Tiongkok. Arus kapal dari selatan semakin tipis. Sebaliknya arus dari utara semakin deras, membawa barang-barang baru, pikiran-pikiran baru, agama baru. Juga ke Tuban. ....

Dahulu, di jaman kejayaan Majapahit, arus bergerak dari selatan ke utara, dari Nusantara ke Atas Angin. Majapahit adalah kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi ini. Kapal-kapalnya, muatannya, manusianya, amal dan perbuatannya, cita-citanya – semua itulah arus selatan ke utara. Segala-galanya datang dari selatan. Majapahit jatuh. Sekarang orang tidak mampu lagi membuat kapal besar. Kapal kita makin lama makin kecil seperti kerajaannya. Karena, ya, kapal besar hanya dibikin oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil menyebabkan arus tidak bergerak ke utara, sebaliknya, dari utara sekarang ke selatan, karena Atas Angin lebih unggul, membawa segala-galanya ke Jawa, termasuk penghancuran, penindasan, dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita akan semakin kecil untuk kemudian tidak mempunyai sama sekali. .....

Tidak mungkin – asal kalian menguasai jalan laut lagi. Selama mereka yang menguasai, mereka takkan menenggang kapal kita, akan menghancurkannya sama sekali. Sampai kita dibikin tidak beranjak dari dusun kita sendiri di pesisir dan gunung.

Dengan lugas Pram menggambarkan relasi antara dua dunia yang waktu itu dikenal dengan sebutan “negeri bawah angin” dan “negeri atas angin”. Negeri bawah angin adalah sebutan lain dari Nusantara; negeri atas angin adalah sebutan untuk wilayah sepanjang utara Nusantara, termasuk India, Semenanjung Arab, hingga daratan Eropa. Oleh Pram, relasi itu digambarkan pada sebuah “arus”. Negeri yang besar digambarkan bergerak dari selatan menuju ke atas, ke utara. Meski berada di “bawah”, tapi Nusantara punya kemampuan untuk bergerak ke atas, menjangkau wilayah-wilayah seberang sana. Ini berkat kekuatan “arus” yang menggerakkannnya, arus kapal besar.

Arus ini memang biasa dikenal di sebuah negeri yang sebagian besar komponennya adalah kepulauan. Laut adalah modal besar kemajuan negeri. Simbol kedigdayaan negeri maritim seperti ini adalah pada kapal laut. Tepatnya kapal besar. Pram menggambarkan kekuatan kapal besar ini pada muatannya: “Kapal-kapalnya, muatannya, manusianya, amal dan perbuatannya, cita-citanya”. Dengan kapal ini, orang-orang negeri bawah angin bisa leluasa bergerak kesana-kemari di belahan utara, membawa berbagai amal dan perbuatan, termasuk cita-cita, dari negeri sendiri. Tepatnya, mereka membawa kebudayaan dan ide-ide besar, dan dengan itu mereka besar dan kuat. Arus ini pula yang membawa kemakmuran bagi negeri. Dengan kata lain ke utara membawa ide, dan pulang kembali ke selatan membawa kekayaan untuk negeri.

Tapi, apa yang terjadi kemudian, ketika lambat-laun arus mulai berbalik? Yakni dari utara ke selatan. Kerajaan menjadi kecil, demikian pula kapalnya, dan juga manusianya menjadi kerdil. Kalau sebelumnya penduduk negeri bawah angin adalah pencipta ide-ide, kini menjadi pemamah ide-ide. Alias konsumtif belaka. Mereka pun tidak banyak lagi punya kapal sendiri, apatah lagi kapal besar. Kebanyakan sudah menjadi buruh bagi kapal-kapal asing yang datang dari utara. Sebagian lagi menjadi kuli yang mengusung kekayaan negeri sendiri naik ke atas kapal-kapal asing itu. Arus balik inilah yang “membawa segala-galanya ke Jawa, termasuk penghancuran, penindasan, dan penipuan”. Dan arus dari utara ini semakin deras, membawa barang-barang baru, dan juga pikiran-pikiran baru.

Sebutan “utara” dan “selatan” sangat kuat terasa belakangan ini yang ditandai dengan ketimpangan global antara “Utara” dan “Selatan”. Utara merupakan negara-negara maju, kaya raya, sementara Selatan adalah negara-negara Dunia Ketiga, mencakup Asia, Afrika dan Amerika Selatan, miskin, underdeveloped, dan terbelakang. Ide-ide besar tidak lagi ditemukan di Selatan, tapi di Utara, sehingga mereka berbondong-bondong mencari ilmu ke sana. Sementara ke Selatan, orang-orang Utara hanya mencari segala yang berbau eksotik dan otentik, yakni sebagai turis. Ketimpangan itu tampak jelas bagai perumpamaan antara kapal besar dari utara berhadapan dengan kapal kecil dari selatan. Kapal kecil tidak kuat menahan arus dari utara yang digerakkan oleh kapal besar. Selain itu, kapal besar mengangkut kekayaan dari Selatan, sementara kapal kecil belajar apa adanya di Utara. Pulang ke Selatan dengan selamat pun sudah untung. Demikian pula, turis dari kapal besar hanya membawa uang saku 1000 dolar, sementara kekayaan negeri yang diangkut kapal besar Utara senilai sejuta dolar. Karena yang datang adalah kapal besar dari Utara, maka mereka juga membawa barang-barang baru (yang sudah jadi), dan pikiran-pikiran baru.



Tata Dunia Multipolar dan Ancaman Fundamentalisme Ganda

Pasca Runtuhnya Uni Soviet, Amerika Serikat bemaksud menjadi polisi dunia dan satu-satunya negara adidaya. Tapi keinginan itu belum sempat terwujud, karena Rusia di bawah kepemimpinan Presiden Vladimir Putin yang nasionalis dan visioner kembali bangkit dengan semangat imperium Rusia di masa lampau.

Bersama Cina, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan dan Uzbekistan, Rusia mendirikan Shanghai Cooperation Organizatioan (SCO). Blok ini juga menyertakan Iran, India, Pakistan, Turkmenistan dan Mongolia sebagai peninjau. Anggota dan peninjau SCO adalah negara-negara pemilik senjata nuklir dan penyumbang populasi terbesar di dunia. Ditambah dengan hak veto yang dimiliki Cina dan Rusia, SCO menjadi kekuatan sangat penting dalam percaturan geopolitik dunia saat ini yang potensial melahirkan keseimbangan baru dalam sistem dunia dan kecenderungan hegemonik satu negara atas negara lain.

Di kawasan Eropa dan Uni Eropa. Ini adalah blok yang tidak jauh berbeda dengan SCO, dan menjadi pesaing kuat AS dalam forum-forum WTO (organisasi perdagangan dunia). Dalam pertemuan WTO di Hongkong akhir tahun 2005 yang lalu, ketika AS menolak untuk mencabut subsidi sektor pertanian, Uni Eropa juga melakukan hal yang sama (sementara di Indonesia petani hidup tanpa proteksi dari negara, karena kita seringkali salah dan gagap menghadapi pergeseran geopolitik internasional).

Di Amerika Latin muncul kelompok kepala negara yang berusaha bangkit dengan kekuatan sendiri demi menjaga kultur kelatinan dan kepentingan nasionalnya. Ada Presiden Evo Morales yang memimpin Bolivia, Fidel Castro (Kuba), Hugo Chavez (Venezuela), La Da Silva (Brazil), Martin Torrijos (Panama), Michelle Bachelet (Chili), Nestor Kirchner (Argentina) dan Tabare Ramon Vasques (Uruguay).

Dalam masalah krisis nuklir Iran yang menjadi salah satu pemicu ketegangan geopolitik antarblok saat ini, dunia menyaksikan secara nyata bahwa SCO selalu melindungi Iran baik karena Syiah tersebut merupakan peninjau SCO, kepentingan Rusia dan Cina terhadap minyak, maupun keinginan untuk membangun tata dunia yang lebih berkeadilan.

Iran, Cina, Rusia, India dan negara-negara Amerika Latin bisa bangkit dan memainkan peranan penting dalam transisi hegemoni dunia saat ini karena mereka memenuhi dua syarat sekaligus: tradisi dan kepemimpinan yang kuat. Tradisi menjadi modal untuk membentuk pandangan hidup, spirit dan mentalitas yang mengakar secara kokoh pada nilai-nilai peradaban yang utama. Sedangkan kepemimpinan berperan memberi arah, orientasi pemihakan pada kepentingan kolektif sehingga eksistensi dan martabat bangsa bisa dijaga.

Negara-negara tersebut bisa dikatakan telah keluar dari lingkaran setan kemiskinan dan keterbelakangan (the vicious circle of poverty and backwardness), meminjam istilah Philip Kotler dalam The Marketing of nations (1997). Kemampuan itu bisa dikatakan hanya didapat dengan kekuatan tradisi dan kepemimpinan yang kuat.

Sementara itu, memasuki tahun ketiga pemerintahan SBY-JK belum menorehkan prestasi apapun. Persoalan datang silih berganti. Setidaknya ada dua kekuatan dengan kecenderungan fundamentalis, yang mengancam keberlangsungan hidup bersama yang disebut Indonesia. Pertama, kekuatan korporasi global dengan fundamentalisme pasarnya tengah melahirkan pemiskinan, ketidakadilan sosial, pendangkalan hidup, penyeragaman, dan mengancam kedaulatan negara lewat jebakan utang dan kesepakatan global yang tak adil. Kekuasaan korporasi global telah melumpuhkan kekuasaan negara dan pemerintahan. Pemerintah sebagai lembaga utama negara semakin kehilangan kapasitas untuk mengurus kepentingan publik. Pemerintah juga kehilangan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan melindungi rakyat dari segala bentuk kekerasan dan eksploitasi. Yang terjadi, kebijakan pemerintah cenderung memihak dan melayani yang kuat. Kedua, di tengah melemahnya kekuasaan negara, kekuatan kelompok sektarian mengambil kesempatan untuk menjalankan agenda politiknya dengan paksaan. Yang memprihatinkan, agenda politik yang didesakkan kelompok-kelompok ini kurang relevan dan tak menjawab masalah mendasar yang tengah dihadapi mayoritas rakyat negeri ini, yaitu meluasnya pemiskinan, pengangguran, kelaparan, korupsi, wabah penyakit, kerusakan alam, dan beragam bencana lainnya. Selain tak menjawab masalah mendasar yang dihadapi mayoritas rakyat, agenda politik kelompok sektarian juga bertentangan dengan prinsip keIndonesiaan.

Hadirnya berbagai bentuk regulasi yang mengutamakan nilai moral kelompok tertentu, baik dalam skala lokal maupun nasional, maraknya tindak kekerasan dengan mengatasnamakan nilai- nilai agama, konflik horizontal antarkelompok berlabel agama, etnis, dan golongan, merupakan indikasi adanya kekuatan fundamentalisme kelompok sektarian. Dua kekuatan fundamentalisme itu sama-sama menjalankan agenda "pemurnian". Di satu sisi, korporasi global yang menjarah kekayaan alam dan memandang Indonesia hanya sebagai pasar terus dan akan terus menjadikan kelompok miskin sebagai tumbal praktik fundamentalisme pasar. Sementara praktik fundamentalisme kelompok sektarian cenderung memerangi individu dan kelompok yang dinilai tak bermoral, menyimpang, murtad, berbeda keyakinan, aliran, dan pandangan.

Dua kekuatan fundamentalisme itu telah menciptakan situasi dilematis bagi bangsa ini. Fundamentalisme kelompok sektarian cenderung merampas hak-hak privat dari kehidupan sosial, sementara fundamentalisme pasar cenderung mengabaikan hak-hak publik di bidang ekonomi dengan melemparkan perkara publik menyangkut hidup mati rakyat menjadi urusan privat individual. Yang satu menekankan komunalisasi dan menepikan subyek, yang lain menekankan individualisasi dan mengabaikan kesosialan.

Fundamentalisme kelompok sektarian cenderung menekankan dan memaksakan satu sistem nilai moral yang tak dapat ditawar bahkan oleh mereka yang tidak menganutnya. Sementara fundamentalisme pasar cenderung mengabaikan nilai-nilai moral mana pun. Pendek kata, kedua kekuatan fundamentalisme itu sama-sama menggilas ruang publik yang bercirikan keberagaman. Yang satu menggilas ruang publik dengan menyerap yang privat, yang lain dengan mengabaikan yang publik. Pada akhirnya keduanya sama-sama melahirkan penyeragaman dan karenanya harus dilawan.

Masalahnya, dalam kondisi serba terbatas sekarang ini, mana yang mesti dilawan duluan? Melawan kekuatan yang satu berarti membiarkan kekuatan yang lain terus berkuasa dan meremuk hidup bersama. Sementara melawan keduanya sekaligus, energi yang dibutuhkan terlalu besar. Terlebih dalam situasi masyarakat terfragmentasi ke dalam berbagai kelompok, golongan, dan kepentingan politik seperti sekarang ini.

Entah fundamentalisme pasar atau fundamentalisme kelompok sektarian, orang-orang kecillah yang selalu dan lebih dulu menjadi korban. Bisa dibayangkan, kehidupan macam apa yang akan dihadapi orang-orang kecil di negeri ini seandainya dua kekuatan itu terus membayangi hidup bersama bangsa ini. Sekarang ini saja kita sudah bisa membaca apa dampak dari berlangsungnya dua kekuatan itu di negeri ini.

Kebijakan pemerintah yang banyak didikte oleh kekuatan kapitalisme global dan karenanya tidak berpihak kepada kepentingan dan potensi rakyat semakin mempersempit ruang hidup rakyat kecil. Pada saat yang sama, pemerintah—atas desakan kekuatan fundamentalisme kelompok sektarian—membuat berbagai aturan menyangkut soal moral, kesusilaan, dan ketakwaan warga, yang mengarah bukan pada perlindungan rakyat kecil dari pemiskinan dan kekerasan, tetapi cenderung memosisikan kelompok miskin, khususnya perempuan, sebagai akar masalah dari krisis mendalam yang dihadapi bangsa ini. Krisis mendalam yang berakar pada salah urus negara ditanggapi sekadar persoalan kebertubuhan. Di banyak kasus, aparat negara juga membiarkan kelompok-kelompok sektarian itu melakukan pemaksaan dan tindak kekerasan terhadap mereka yang berbeda pendapat dan keyakinan. Padahal, prinsip negara hukum tak membiarkan siapa pun bertindak anarki.

Dihadapkan pada kekuatan kapitalisme global, agenda kelompok sektarian yang cenderung fundamentalis itu terbukti tidak menyentuh problem mendasar yang dihadapi bangsa ini, seperti utang, korupsi, penjarahan kekayaan alam oleh kekuatan asing, pemiskinan, pelanggaran hak asasi manusia, dan masalah mendasar lainnya. Dengan memaksakan agendanya itu, kekuatan fundamentalisme kelompok sektarian, sengaja atau tidak, telah membiarkan bangsa ini menjadi bulan-bulanan korporasi global yang memperluas kekuasaannya lewat agenda utang dan kesepakatan global. Korporasi global dengan leluasa menguasai negeri ini karena pemiliknya tengah berkonflik, bertikai, dan sibuk mengurus tetek bengek persoalan.

Maka, gerakan mahasiswa harus mampu berkayuh di antara gelombang panjang dan gelombang pendek agar gelombang panjang tetap terkejar dan gelombang pendek tidak cukup kuat untuk menghancurkan perahu gerakan kita yang rapuh. Satu sisi, gerakan mahasiswa harus memfokuskan perjuangan pada upaya kritisisme dan resistensi terhadap kebijakan pemerintah yang anti-rakyat, di sisi lain gerakan mahasiswa tetap harus mewaspadai penetrasi neo-liberalisme yang membahayakan masa depan bangsa Indonesia. Gerakan Mahasiswa nusantara senantiasa gagal dalam membangun persatuan perjuangan dan konsolidasi yang utuh, padu, sinergis, dan terukur pada level nasional. Gerakan Mahasiswa selalu ragu dan senantiasa tidak yakin atas kemampuannya dalam membentuk aliansi taktis-strategis dalam melakukan penyikapan atas kondisi kebangsaan. Padahal, sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa kemerdekaan hanya bisa direbut setelah adanya kesepahaman, penyatuan komitmen dan ketetapan hati kaum muda Nusantara yang mewujud dalam Soempah Pemoeda '28 dan Revolusi Agustus '45. Maka Gerakan Mahasiswa jangan hanya mampu melakukan kritik situasi tapi juga harus melakukan kritik sejarah, memahami posisi, dan mampu mengukur kekuatan yang mereka miliki. Sehingga mampu memformulasikan strategi dan taktik serta fokus gerakan yang bisa diaplikasikan secara efektif.


KHP (Kritis, Humanis dan Profesional) menuju reparadigma epistimologi ke-Indonesia-an

Realitas dunia pendidikan yang tragis sebagaimana digambarkan di atas harus mendapatkan perhatian oleh gerakan mahasiswa saat ini. Mau tidak mau isu pendidikan merupakan isu mendasar yang sangat krusial dan mempunyai implikasi mendasar terhadap perkembangan kesejahteraan rakyat. Karena jika kita menilik jauh akar persoalan keterbelakangan bangsa ini (backwardness) adalah pendidikan. Oleh karenanya diperlukan gerakan penataan ulang paradigma pendidikan kita saat ini menuju pendidikan yang berbasis kerakyatan.

Kesalahan dunia pendidikan kita saat ini bukan terletak pada sistem manajemen ataupun kurikulumnya. Akan tetapi ada satu nilai dasar yang hal ini bisa mempengaruhi struktur pendidikan kita. Di sinilah PRM mengambil gerakan untuk menilik struktur paradigmatik pendidikan nasional. Kritis, humanis dan profesional merupakan pemaknaan baru paradigma pendidikan kita yang sudah lesu dan sarat kepentingan.

Pendidikan kritis dimaksukan bahwa proses penanaman pengetahun yang terjadi dalam pendidikan harus bisa korektif, evaluatif terhadap diri pendidik, pengajar dan peserta didik secra dialektik. Kritis bukan berarti sebuah gerakan frontal yang hendak keluar dari jeruji pendidikan. Namun, bagaimana mengambil makna dan esesni pendidikan yang detik ini telah dijadikan alat penghambaan kekuasaan.

Dalam kenyataan seharai-hari proses penanaman status quo dalam dunia pendidikan sering terjadi. Menciptakan keseragaman terutama dalam berfikir, misalnya, sangat terlihat bahwa sejak kecil anak didik kita tidak diajarkan berfikir kreatif dan alternatif. Standar-standar baik, rajin, pintar, dan lain sebagainya telah menciptakan aturan baru yang tidak pernah dirembug sebelumnya. Siswa/mahasiswa hanyalah “pengekor” guru/dosen yang menghamba kepada negara dan birokrasi. Orang tua tidak lebih sebagai pengikut guru yang tidak langsung yang menjebak anaknya untuk tunduk kepada negara. Bukankan ruang kelas, bukan lagi ruang netral yang memberikan banyak pilihan? Bukankah rezim ilmiah selalu membatasi materi-materi dalam koridor yang “baik”, “normal”, “sesuai”, dan lain sebagainya? Tidak ada ruang kosong yang mampu memberikan perspektif lain. Ukuran-ukuran kebenaran yang relatif diubah menjadi absolut. Akibatnya, hanya ada satu kebenaran; kebenaran versi negara.

Dalam proses penguasaan, pendidikan yang terbirokrasikan melahirkan pendidikan prosedural yang melupakan kualitas, profesionalitas dan demokrasi. Ukuran-ukuran resmi dan non resmi tergantung stempel birokrasi. Pendidikan semata-mata dipahami sebagai proses mencari pengikut sebanyak-banyaknya, seperti partai menjelang pemilihan umum.

Maka tidak heran, jika kemudian lembaga pendidikan berkampanye ke mana-mana untuk mencari (maha)siswa (pengikut!). Bukan hanya kepentingan ekonomis, tapi juga kepentingan politis ideologis. Bukankah, kemudian pendidikan tak lebih sebagai lembaga pelegitimasi atas setiap kebijakan negara? Bukankan setiap kebijakan negara pasti dimasukkan kurikulum? Maka, negara tidak rela kalau hanya pendidikan berorientasi untuk mencerdaskan warga negara. Tapi para penguasa negara akan sangat berkepentingan dengan kelanggengan dan legitimasi kekuasaan dari rakyatnya.

Pemahaman awal yang harus diterima adalah ilmu pengetahuan tidak pernah netral. Ilmu pengetahuan berjalan melalui buku, majalah, jurnal, media massa, internet dan media lainnya sebagai sebuah proyek penguasaan terhadap seseorang yang mempelajarinya. Penguasaan tersebut berjalan di bawah kesadaran, karena para pencari ilmu pengetahuan hanya berposisi sebagai konsumen dan kebanyakan kagum serta percaya dengan mitos kesejahteraan, kecerdasan, dan kebahagiaan, ketika seseorang telah “memakan bangku” sekolah/pendidikan. Padahal, semuanya hanya mimpi ditengah siang bolong. Tak sadar bahwa kita sebenarnya telah terjajah oleh ilmu pengetahuan yang kita pelajari. Lebih mengerikan lagi, kolonialisme ilmu pengetahuan tersebut kita biaya sendiri dan kita sediakan waktu sendiri. Anehkan? Di sinilah kritisisme menjadi penting sebagai perangkat membangkitkan perlawanan terhadap imperalisme ilmu pengetahuan.

Pengertian Humanis dimaksudkan bahwa pendidikan sebagai sebuah institusi maupun sebagai “proses ingin tahu” harus mampu melahirkan insan yang peka terhadap kemanusiaan. Seringkali dunia pendidikan justru mencetak robot-robot yang mekanik, positivistik yang tidak pernah mengenal sentuhan kemanusiaan. Sehingga semakin banyak orang pintar maka semakin banyak pula para perusak kemanusiaan.

Logika positivistik dan obyektifisme dalam dunia pendidikan menjadi biang keladi bagi terciptanya pendidikan anti kemanusiaan. Pengandaian pengetahuan yang netral dan bebas nilai selaras dengan acuhnya dunia pendidikan terhadap persoalan kemanusiaan. Oleh karena itu pendidikan kita bukan patung yang mati, robot yang mudah digerakkan akan tetapi pendidikan yang mempunyai rasa dan nurani kemanusiaan.

Pengertian profesional dimaksudkan bahwa sebagai turunan dari pendidikan yang kritis, dan humanis maka saat ini pula profesionalitas pengetahuan harus diarahkan pada dua nilai di atas. Profesional tidak dimaksudkan sebagai profesionalisme atau justru pengertian yang bertolak belakang dari humanis. Bahwa seluruh potensi pengetahuan harus diarahkan pada satu kepentingan yakni perjuangan dan gerakan kerakyatan.

Tiga prinsip di atas merupakan nilai dan prinsip dasar yang ingin akan menjiwai gerakan kita. Akan tetapi pertanyaannya bagaimana mengeksperimentasikan gagasan dan gerakan tersebut ?

Upaya mewujudkan Student State yang kuat dan Demokratis

Pertanyaan mendasar yang perlu disadari bahwa seringkali kita mengawang-ngawang untuk membicarakan perubahan, namun kondisi riil yang dihadapi gerakan mahasiswa dalam mengusung isu-isu (perubahan) pendidikan sering kali terbentur oleh suasana dalam kampus itu sendiri. Artinya, perubahan yang diinginkan justru tidak bisa dilakukan di wilayah perguruan tinggi itu sendiri. Hal ini disebabkan salah satunya, tidak adanya kesadaran mutlak dari (sebagian) kalangan mahasiswa untuk secara massif dan emansipatif melakukan suatu perubahan, bergerak bersama dan mengusung isu-isu perubahan pendidikan yang progressif, humanis, trasformatif dan berbasis kerakyatan.

Kasus masuknya kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan baik yang terjadi secara terang-terangan maupun dilakukan secara terselubung dalam dunia kampus (PT) membuktikan, betapa dunia pendidikan saat ini sudah menjadi komuditas kalangan kapitalis. Parahnya, diakui atau tidak, mahasiswa yang seharusnya menjadi pioner perubahan dalam melakukan manuver “pembebasan” justru tergiring atau bahkan menjadi objek jejaring kapitalisasi pendidikan, di samping juga telah menjadi korban dari budaya komersialisasi pendidikan. Ini menjadi satu hal yang sangat disayangkan sekali. Selain itu persoalan yang paling akut didunia pendidikan tinggi kita adalah adanya kurikulum yang memang di set up dari luar yang kemudian dijejalkan ke kepala mahasiswa. Semakin tinggi pendidikan anak bangsa, maka semakin paradoks dengan realitas yang berjalan disekitarnya. Seperti yang sudah penulis singgung diatas bahwa dalam wacana post colonial tanpa harus dipaksa mainstream yang ada dikepala mahasiswa Indonesia mengatakan bahwa dunia barat adalah segala-galanya, baik dari segi teknologi, peradaban, ataupun pendidikan.

Di sinilah peran lembaga intra sebagai wadah eksperimentasi gagasan dan gerakan diperlukan. Sebab, salah satu tujuan berdirinya lembaga intra adalah sebagai media penyalur aspirasi dan kampus dan untuk menciptakan suatu "pemerintahan" yang ideal. Dan, untuk mencapai good student state yang dicitakan haruslah selalu diupayakan langkah-langkah yang progresif dan visioner. Hal itu dilakukan untuk menjaga idealisme dan independensi keberadaan DEMA.

Langkah yang harus ditempuh, misalnya, pertama, selain manuver dan gerakannya benar-benar independen, DEMA harus berupaya semaksimal mungkin menjaga keseimbangan. Artinya, DEMA harus dapat menampung setiap aspirasi dari kondisi kampus yang pluralistik. Sebab, bukan tidak mungkin keberadaan kampus dengan warna warni mahasiswa dan infrastruktur yang ada dapat menjadi tantangan dan perhitungan BEM dalam menentukan sikap.

Kedua, selain benar-benar memperjuangkan kepentingan-kepentingan mahasiswanya atau student oriented, posisi DEMA harus mampu semaksimal mungkin berorientasi pada kepentingan masyarakat atau socienty oriented. Sebab, komunitas mahasiswa (BEM) /DEMA merupakan salah satu bagian dari komunitas masyarakat dan merupakan motor penggerak yang "profesional" dibandingkan kalangan awam.

Ketiga, DEMA harus berupaya menjadi mediator yang profesional dan luas serta memiliki ide-ide yang blirian dan revolusioner terhadap kondisi yang labil. Dengan kata lain, BEM jangan hanya pandai bermanuver tanpa memberikan problem solving terhadap realitas yang ada sehingga terkesan tidak profesional dan representatif. Idealnya, selain mampu bermanuver, BEM harus dapat memberikan solusi.

Keempat, demokratisasi pun harus ditegakkan dengan jujur oleh DEMA. Sebab, tidak dapat disangkal bahwa personalitas di sekitarnya tentu memiliki kepentingan-kepentingan, baik antarpersonal, kelompok, maupun organisasi. Demokrasi yang "jujur’ tadi merupakan senjata yang ampuh dalam membangun DEMA yang ideal dan akan melahirkan sosok pemimpin yang demokratis dan tentunya prorakyat.

Kelima, Kegamangan dalam menentukan common enemy saat ini sangat dirasakan oleh kala+an elemen gerakan pemuda, oleh karena itu, konsolidasi antar Gerakan pemuda baik itu Gerakan mahasiswa intra kampus ataupun gerakan pemuda kedaerahan mutlak harus dilakukan oleh DEMA, baik dilevel regional jogja ataupun dilevel Nusantara. Sudah saatnya gerakan mahasiswa intra kampus melebarkan sayapnya ke gerakan-gerakan kepemudaan baik itu yang berbasis kedaerahan mapun keagamaan. Kerena hari ini musuh kita gerakan mahasiswa tidak tunggal sebagaimana yang terjadi di era Orde Baru maka wujud kongkrit dari konsolidasi antar elemen gerakan mahasiswa itu adalah dengan memercikkan api-api perlawanan dimasing-masing kampus ataupun daerah (common denominatior) yang pada saatnya akan menjadi bola api yang membesar dan terjadilah revolusi social.

Dan keenam, yang juga tidak boleh dilupakan bahwa kerja-kerja peradaban dalam rangka mewujudkan epistimologi pengetahuan ke-Nusantara-an sangat membutuhkan waktu yang cukup lama (long term), maka yang paling mungkin dilakukan oleh DEMA adalah membudayakan ruang-ruang pendidikan alternatif (small groups) bagi mahasiswa, karena dari sanalah pada saatnya kita akan menemukan pengetahuan yang memang di set up untuk kita dan pengetahuan yang memang indegeneous knowledge of Nusantara.

Di sinilah urgensi penguasaan terhadap lembaga intra kampus diperlukan. Merebaknya kebijakan kampus yang tidak memihak pada kepentingan mahasiswa adalah bagian yang tak terpisahkan dari kelemahan penataan sistem student State yang lemah. Sehingga seringkali lembaga intra hanya terkesan menjadi budak dan corong dari birokrasi. Dalam konteks UIN pemberlakuan DPP dan SPP merupakan aib besar yang harus ditangisi bersama. pemberlakuan kode etik sebagai neo-NKK-BKK menjadi luka baru bagi keberlangsungan gerakan mahasiswa di kampus.

Kendala-kendala di atas akan tercapai apabila mahasiswa mempunyai I’tikad dan insiatif yang luhur untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang baik. Sebab, sangat mustahil agungnya sebuah gagasan dan gerakan akan tercapai tanpa adanya sarana yang representif dan efektif. Oleh karenanya prinsip student state harus dibangun atas dua prinsip yakni independen dan demokratis.

Pengertian Independen adalah :
1. Bebas dari intervensi birokasi kampus
2. Mampu menjadi media control terhadap kebijakan yang tidak memihak terhadap kepentingan mahasiswa
3. Sebagai kekuatan penyeimbang kepentingan birokrasi
4. Sejajar dengan jajaran birokrat dalam hal policy maker kampus dan akademik
5. Mampu membangun aliansi kerakayatan di wilayah kampus
6. Tidak mengekor kepada salah satu kepentingan elit politik pemerintah
Demokratis :
1. Sebagai media dan pengemban aspirasi mahasiswa
2. Mampu memberikan pendidikan politik terhadap mahasiswa
3. Mengutamakan kepentingan mahasiswa

Penutup

Dari analisa singkat di atas dapat kita pahami bahwa mahasiswa sebagai pioner dan agent perubahan sosial (agent of social change) benar-benar harus mampu memposisikan dirinya sebagai “generasi pembaharu”. Dengan begitu, posisi dan peran serta mahasiswa dalam mengusung terciptanya pembaruan baik sistem, mekanisme dan arah kebijakan yang “tidak populis” benar-benar dapat dirasakan. Pergerakan mahasiswa tidak hanya menyentuh urusan politik saja, namu juga harus masuk ke semua lini, baik bidang pendidikan, sosial dan lain sebagainya. Sebab, tujuan utama (ultimate goal) gerakan mahasiswa itu sendiri adalah menciatu tatanan dan kondisi ke arah yang lebih baik dan bukan sebaliknya.

Akhir kata, Einstein pernah bilang, ada dua hal yang tidak terbatas: alam raya dan kebodohan manusia. Tentang yang pertama, Einstein tidak yakin. Artinya, kebodohan manusialah yang menurut dia tidak terbatas. Karena itu, mari kita memulai langkah konsolidasi melawan segala bentuk kekuatan yang membodohi dan melahirkan kebodohan.